Berdasarkan pengalaman subjektif saya, aktivitas menulis seperti momok
bagi kebanyakan mahasiswa. Padahal nyaris seluruh tugas di perkuliahan
membutuhkan kemampuan menulis, terutama di jurusan humaniora. Jadi, bisa
Anda bayangkan bagaimana perasaan mahasiswa yang tidak mau menulis
tetapi dipaksa untuk menulis. Kalau sudah seperti itu, Internet menjadi
sahabat setia bagi mahasiswa yang tidak mau menulis. Melalui internet,
mereka bisa mencari informasi apa pun terkait tugas perkuliahan. Mereka
juga bisa menggunakan senjata pamungkas berupa kombinasi tombol ctrl+C (copy) dan ctrl+V (paste),
dan Aha! Jadilah sebuah tulisan yang siap dikumpulkan kepada dosen.
Jadi sebenarnya tugas dosen zaman sekarang cukup berat, karena harus
bisa memilah mana tulisan hasil karya orisinal mahasiswa dan mana
tulisan hasil plagiat dari internet.
Lalu
kalau begitu apa pentingnya kemampuan menulis bagi mahasiswa? Di awal
masa kuliah, saya juga tidak terlalu suka menulis. Titik balik terjadi
ketika saya menghadiri sebuah pelatihan menulis. Satu kalimat dari sang
pembicara yang begitu lekat dalam ingatan saya saya adalah: ”Wahai mahasiswa, menulislah. Atau ilmu kalian akan musnah”. Menurutnya,
menulis merupakan salah satu cara agar ilmu kita dapat terus mengalir
dan berkembang. Ilmu yang hanya dipelajari tanpa pernah dituliskan,
seperti air yang tergenang di kolam. Pada awalnya bening dan bersih,
tapi lama-kelamaan akan menjadi keruh dan kotor karena tidak pernah
dialirkan.
Masih
menurut Prof. Suwardjono, kepribadian kesarjanaan bisa dikembangkan
dengan enam kemampuan yang harus dimiliki oleh mahasiswa. Apa saja
keenam kemampuan tersebut? Dua kemampuan paling dasar adalah kemampuan mendengar (hear) dan kemampuan berbincang (talk). Nyaris semua mahasiswa pasti memiliki kemampuan ini. Sisanya adalah kemampuan khas kesarjanaan yang terdiri dari kemampuan membaca (read), kemampuan mendengarkan (listen), kemampuan menulis (write), dan terakhir adalah kemampuan berbicara (speak).
Empat kemampuan yang disebutkan terakhir harus melekat pada diri
seorang mahasiswa baik ketika ia masih kuliah ataupun setelah terjun di
masyarakat.
Dari
keenam kemampuan tersebut, titik berat saya letakkan pada kemampuan
menulis. Saya tidak menyepelekan lima kemampuan yang lain. Tetapi ada
satu karekteristik khusus dari tulisan (sebagai produk dari menulis)
yang tidak dimiliki oleh lima kemampuan lainnya, yaitu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tulisan, jika media penulisannya awet, bisa abadi. Tulisan adalah bentuk dokumentasi kecendekiawanan manusia. Contohnya,
Leonardo da Vinci terkenal dengan ide-ide futuristisnya mengenai
teknologi. Dari mana kita tahu bahwa idenya futuristis? Tentu saja dari
penilaian manusia modern yang berhasil menemukan naskah-naskahnya. Ada
juga Ibnu Sina, sebagai bapak ilmu kedokteran modern, dengan bukunya
yang berjudul Al-Qanun fi At Tibb (The Canon of Medicine).
Padahal ia hidup di tahun 980-1037 Masehi (sekitar 10 abad yang lalu).
Sederhananya, tulisan adalah media yang efektif untuk menyebarluaskan
ide dan ilmu kita ke segala penjuru dunia.
Bicara
soal ilmu, salah satu simbol keilmuan peradaban modern adalah
universitas dan lembaga pendidikan tinggi lainnya. Perguruan tinggi
adalah gudangnya ilmu pengetahuan. Tidak semua orang bisa belajar di
dalamnya. Lalu siapa yang bisa menikmati semua fasilitas ilmu
pengetahuan di perguruan tinggi? Manusia beruntung itu bernama mahasiswa.
Jumlah mahasiswa di Indonesia berdasarkan data tahun 2011 (sumber bisa dilihat di sini)
baru sekitar 18,4 persen (sekitar 4,8 juta orang) jika dihitung
terhadap populasi penduduk Indonesia yang berusia 19-24 tahun (kisaran
usia mahasiswa). Banyak sekali warna negara di Indonesia yang belum
mampu meraih pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi.
Sebagai
manusia yang punya kesempatan langka untuk mendapatkan pendidikan di
penguruan tinggi, mahasiswa sebenarnya punya utang ilmu kepada
masyarakat awam. Bisa jadi, ilmu yang dianggap sederhana oleh mahasiswa
merupakan hal yang luar biasa di mata awam. Ilmu
juga bisa disampaikan dalam ruang kelas, forum ilmiah, atau perkumpulan
sosial di masyarakat. Tetapi biasanya satu kelas hanya bisa diisi
sekitar 50-60 orang. Melalui tulisan, ilmu bisa terbang ke mana saja dan
bisa dibaca oleh ratusan orang. Sungguh bermanfaat, bukan? Tulisan merupakan salah satu media yang efektif untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Seperti kata pepatah, satu peluru hanya menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus jutaan kepala.
Misalnya
bagi saya dan mahasiswa psikologi lainnya, ilmu mengenai tahap
perkembangan psikologis manusia adalah hal yang biasa karena sudah
sering dibahas di dalam kelas. Tapi bagi orang awam, barangkali
pengetahuan tersebut menjadi sesuatu yang sangat bermakna dan bisa
membantu kehidupan mereka. Karekteristik utama tulisan dari orang yang
ahli di bidangnya, isi tulisan selalu dikupas dengan pisau analisis yang tajam. Boleh jadi tulisan menggunakan teori ilmiah, tetapi dibahas dengan bahasa ringan yang mudah dipahami awam.
Salah satu penulis yang saya kagumi keilmuannya adalah Prof. Dr.
Sarlito Wirawan Sarwono. Beliau selalu memberikan analisis dari
perspektif ilmu psikologi terhadap kasus yang dibahas dalam tulisannya.
Tulisannya berbobot tapi tidak terasa berat dan gampang dicerna.
Mahasiswa: Menulis atau Tidak Menulis?
Di
balik sikap mahasiswa yang enggan menulis, ada hal yang sebenarnya
laten tapi mengkhawatirkan. Menulis adalah produk pemikiran, otomatis
untuk menulis kita harus membaca dan berpikir. Beberapa rekan yang
pernah saya tanya kenapa dia tidak mau menulis, jawabannya: dia tidak tahu harus menulis apa karena dia mengaku malas berpikir yang rumit.
Sungguh mengkhawatirkan ketika mahasiswa sebagai garda ilmu pengetahuan
tetapi malas membaca dan malas berpikir. Padahal hasil utama yang
diharapkan dari seorang sarjana adalah ide dan kualitas pemikirannya.
Buat
para mahasiswa, apa pun bidang keilmuan Anda, bagikanlah ilmu Anda
melalui tulisan. Terlepas entah apa motif Anda masuk ke perguruan
tinggi, begitu menjadi mahasiswa, Anda sebenarnya berkewajiban untuk
menyebarkan ilmu kepada orang lain yang tidak bisa belajar seperti Anda.
Jika Anda tidak tahu harus menulis apa, tuliskan saja ketidaktahuan
Anda itu. Saya yakin setelah itu Anda pasti akan mendapatkan ide. Saya
meyakini bahwa tidak ada mahasiswa yang tidak bisa menulis. Yang ada
hanyalah mahasiswa yang enggan dan belum tahu bagaimana cara mengatur
ide agar bisa dijadikan sebuah tulisan.
Jangan
bangga dulu dengan jas almamater yang Anda kenakan. Jangan besar kepala
ketika Anda bisa mengkritisi pemerintah dengan kebijakan yang Anda
anggap gagal. Jangan pongah dengan status mahasiswa yang melekat pada
diri Anda. Malu pada rakyat kecil yang tidak bisa kuliah seperti Anda.
Tidak mau menulis memang tidak serta merta membuat Anda jadi orang yang
gagal. Tetapi Anda seperti orang kaya yang tidak mau bersedekah.
Satu
hal lagi, jika situasinya memungkinkan, menulis akan lengkap jika
dibarengi dengan aksi. Aksi dalam bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan
juga sangat penting sebagai wadah aplikasi ilmu pengetahuan. Dalam
artikel ini, saya hanya membahas tentang tulisan dan tidak akan membahas
mengenai kegiatan sosial sebagai tempat aplikasi ilmu.
Selama
Anda tidak pernah berbagi ide dan pemikiran dalam bentuk tulisan,
bersiaplah karena Anda akan hilang ditelan sejarah. Seperti kata
Pramoedya Ananta Toer:
“Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja
untuk keabadian.”
Salam semangat menulis!
@yudikurniawan27
0 komentar:
Posting Komentar