Rabu, 28 November 2012

Mengaku Mahasiswa tetapi Enggan Menulis? Malu Dong!

Berdasarkan pengalaman subjektif saya, aktivitas menulis seperti momok bagi kebanyakan mahasiswa. Padahal nyaris seluruh tugas di perkuliahan membutuhkan kemampuan menulis, terutama di jurusan humaniora. Jadi, bisa Anda bayangkan bagaimana perasaan mahasiswa yang tidak mau menulis tetapi dipaksa untuk menulis. Kalau sudah seperti itu, Internet menjadi sahabat setia bagi mahasiswa yang tidak mau menulis. Melalui internet, mereka bisa mencari informasi apa pun terkait tugas perkuliahan. Mereka juga bisa menggunakan senjata pamungkas berupa kombinasi tombol ctrl+C (copy) dan ctrl+V (paste), dan Aha! Jadilah sebuah tulisan yang siap dikumpulkan kepada dosen. Jadi sebenarnya tugas dosen zaman sekarang cukup berat, karena harus bisa memilah mana tulisan hasil karya orisinal mahasiswa dan mana tulisan hasil plagiat dari internet.
Lalu kalau begitu apa pentingnya kemampuan menulis bagi mahasiswa? Di awal masa kuliah, saya juga tidak terlalu suka menulis. Titik balik terjadi ketika saya menghadiri sebuah pelatihan menulis. Satu kalimat dari sang pembicara yang begitu lekat dalam ingatan saya saya adalah: Wahai mahasiswa, menulislah. Atau ilmu kalian akan musnah”. Menurutnya, menulis merupakan salah satu cara agar ilmu kita dapat terus mengalir dan berkembang. Ilmu yang hanya dipelajari tanpa pernah dituliskan, seperti air yang tergenang di kolam. Pada awalnya bening dan bersih, tapi lama-kelamaan akan menjadi keruh dan kotor karena tidak pernah dialirkan.
1354110916638257817
(sumber gambar: ashianur.blogspot.com)
Saya juga baru mengetahui kalau menulis termasuk ke dalam salah satu ciri mutlak kepribadian kesarjanaan. Nah, kepribadian kesarjanaan itu apa sih? Mengutip dari pendapat Prof. Suwardjono (Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM), kepribadian kesarjanaan merupakan sikap mental, daya pikir, dan kearifan tertentu yang dimiliki oleh seorang sarjana. Secara operasional, kepribadian ini dicirikan dengan kesantunan dalam pergaulan ilmiah dan sosial, kearifan penggunaan ilmu, penguasaan pengetahuan yang mendalam, dan kemampuan penalaran serta artikulasi ilmu.
Masih menurut Prof. Suwardjono, kepribadian kesarjanaan bisa dikembangkan dengan enam kemampuan yang harus dimiliki oleh mahasiswa. Apa saja keenam kemampuan tersebut? Dua kemampuan paling dasar adalah kemampuan mendengar (hear) dan kemampuan berbincang (talk). Nyaris semua mahasiswa pasti memiliki kemampuan ini. Sisanya adalah kemampuan khas kesarjanaan yang terdiri dari kemampuan membaca (read), kemampuan mendengarkan (listen), kemampuan menulis (write), dan terakhir adalah kemampuan berbicara (speak). Empat kemampuan yang disebutkan terakhir harus melekat pada diri seorang mahasiswa baik ketika ia masih kuliah ataupun setelah terjun di masyarakat.
Dari keenam kemampuan tersebut, titik berat saya letakkan pada kemampuan menulis. Saya tidak menyepelekan lima kemampuan yang lain. Tetapi ada satu karekteristik khusus dari tulisan (sebagai produk dari menulis) yang tidak dimiliki oleh lima kemampuan lainnya, yaitu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tulisan, jika media penulisannya awet, bisa abadi. Tulisan adalah bentuk dokumentasi kecendekiawanan manusia. Contohnya, Leonardo da Vinci terkenal dengan ide-ide futuristisnya mengenai teknologi. Dari mana kita tahu bahwa idenya futuristis? Tentu saja dari penilaian manusia modern yang berhasil menemukan naskah-naskahnya. Ada juga Ibnu Sina, sebagai bapak ilmu kedokteran modern, dengan bukunya yang berjudul Al-Qanun fi At Tibb (The Canon of Medicine). Padahal ia hidup di tahun 980-1037 Masehi (sekitar 10 abad yang lalu). Sederhananya, tulisan adalah media yang efektif untuk menyebarluaskan ide dan ilmu kita ke segala penjuru dunia.
Bicara soal ilmu, salah satu simbol keilmuan peradaban modern adalah universitas dan lembaga pendidikan tinggi lainnya. Perguruan tinggi adalah gudangnya ilmu pengetahuan. Tidak semua orang bisa belajar di dalamnya. Lalu siapa yang bisa menikmati semua fasilitas ilmu pengetahuan di perguruan tinggi? Manusia beruntung itu bernama mahasiswa.
Jumlah mahasiswa di Indonesia berdasarkan data tahun 2011 (sumber bisa dilihat di sini) baru sekitar 18,4 persen (sekitar 4,8 juta orang) jika dihitung terhadap populasi penduduk Indonesia yang berusia 19-24 tahun (kisaran usia mahasiswa). Banyak sekali warna negara di Indonesia yang belum mampu meraih pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi.
Sebagai manusia yang punya kesempatan langka untuk mendapatkan pendidikan di penguruan tinggi, mahasiswa sebenarnya punya utang ilmu kepada masyarakat awam. Bisa jadi, ilmu yang dianggap sederhana oleh mahasiswa merupakan hal yang luar biasa di mata awam. Ilmu juga bisa disampaikan dalam ruang kelas, forum ilmiah, atau perkumpulan sosial di masyarakat. Tetapi biasanya satu kelas hanya bisa diisi sekitar 50-60 orang. Melalui tulisan, ilmu bisa terbang ke mana saja dan bisa dibaca oleh ratusan orang. Sungguh bermanfaat, bukan? Tulisan merupakan salah satu media yang efektif untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Seperti kata pepatah, satu peluru hanya menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus jutaan kepala.
Misalnya bagi saya dan mahasiswa psikologi lainnya, ilmu mengenai tahap perkembangan psikologis manusia adalah hal yang biasa karena sudah sering dibahas di dalam kelas. Tapi bagi orang awam, barangkali pengetahuan tersebut menjadi sesuatu yang sangat bermakna dan bisa membantu kehidupan mereka. Karekteristik utama tulisan dari orang yang ahli di bidangnya, isi tulisan selalu dikupas dengan pisau analisis yang tajam. Boleh jadi tulisan menggunakan teori ilmiah, tetapi dibahas dengan bahasa ringan yang mudah dipahami awam.
Salah satu penulis yang saya kagumi keilmuannya adalah Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono. Beliau selalu memberikan analisis dari perspektif ilmu psikologi terhadap kasus yang dibahas dalam tulisannya. Tulisannya berbobot tapi tidak terasa berat dan gampang dicerna.
Mahasiswa: Menulis atau Tidak Menulis?
Di balik sikap mahasiswa yang enggan menulis, ada hal yang sebenarnya laten tapi mengkhawatirkan. Menulis adalah produk pemikiran, otomatis untuk menulis kita harus membaca dan berpikir. Beberapa rekan yang pernah saya tanya kenapa dia tidak mau menulis, jawabannya: dia tidak tahu harus menulis apa karena dia mengaku malas berpikir yang rumit. Sungguh mengkhawatirkan ketika mahasiswa sebagai garda ilmu pengetahuan tetapi malas membaca dan malas berpikir. Padahal hasil utama yang diharapkan dari seorang sarjana adalah ide dan kualitas pemikirannya.
Buat para mahasiswa, apa pun bidang keilmuan Anda, bagikanlah ilmu Anda melalui tulisan. Terlepas entah apa motif Anda masuk ke perguruan tinggi, begitu menjadi mahasiswa, Anda sebenarnya berkewajiban untuk menyebarkan ilmu kepada orang lain yang tidak bisa belajar seperti Anda. Jika Anda tidak tahu harus menulis apa, tuliskan saja ketidaktahuan Anda itu. Saya yakin setelah itu Anda pasti akan mendapatkan ide. Saya meyakini bahwa tidak ada mahasiswa yang tidak bisa menulis. Yang ada hanyalah mahasiswa yang enggan dan belum tahu bagaimana cara mengatur ide agar bisa dijadikan sebuah tulisan.
Jangan bangga dulu dengan jas almamater yang Anda kenakan. Jangan besar kepala ketika Anda bisa mengkritisi pemerintah dengan kebijakan yang Anda anggap gagal. Jangan pongah dengan status mahasiswa yang melekat pada diri Anda. Malu pada rakyat kecil yang tidak bisa kuliah seperti Anda. Tidak mau menulis memang tidak serta merta membuat Anda jadi orang yang gagal. Tetapi Anda seperti orang kaya yang tidak mau bersedekah.
Satu hal lagi, jika situasinya memungkinkan, menulis akan lengkap jika dibarengi dengan aksi. Aksi dalam bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan juga sangat penting sebagai wadah aplikasi ilmu pengetahuan. Dalam artikel ini, saya hanya membahas tentang tulisan dan tidak akan membahas mengenai kegiatan sosial sebagai tempat aplikasi ilmu.
1354110967676019180
(sumber gambar: nias-bangkit.com)
Selama Anda tidak pernah berbagi ide dan pemikiran dalam bentuk tulisan, bersiaplah karena Anda akan hilang ditelan sejarah. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer:
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Salam semangat menulis!
@yudikurniawan27

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.