Rabu, 28 November 2012

Jangan Usik ‘Lahan’ Saya!


Orang tua saya pernah bercerita, dulu ketika sebagian besar masyarakat masih berprofesi sebagai petani atau penggarap lahan, sering terjadi adu mulut bahkan adu jotos dengan membawa senjata tajam dikarenakan perebutan lahan, klaim luas tanah (patok batas) atau berebut aliran air. Kejadian ini menurut orang tua saya, lazim terjadi terutama bila pemilik lahan adalah orang yang dihormati atau disegani, ditakuti (bedegong). Sekarang, kejadian seperti ini memang jarang terdengar, mengingat hampir sebagian masyarakat yang berprofesi petani atau yang dulunya pemilik lahan pertanian/garapan beralih profesi karena sebagian besar lahan telah beralih fungsi menjadi perumahan, ruko atau pertokoan, khususnya didaerah pinggiran kota. Para pemilik tanah lebih suka menjual tanahnya kepada para pengusaha properti ketimbang terus menggarapnya ditengah merosotnya harga hasil pertanian, meningkatnya biaya produksi atau tanah yang semakin tidak produktif akibat pemakaian pupuk dan pembasmi hama kimia. Jadi sejatinya sudah tidak ada lagi lahan yang mereka perebutkan, klaim luas tanah (patok batas), atau rebutan sumber air. Tetapi “lahan” dalam pengertian yang lain, hingga hari ini masih menjadi sumber masalah yang diperebutkan. Bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian lahan adalah tanah terbuka, tanah garapan yang bersifat ekonomi, menghasilkan keuntungan. Dari pengertian itu, ternyata “lahan” sampai kapan pun akan menjadi sumber konflik yang tidak akan ada habisnya, karena pada dasarnya ketika orang membicarakan “lahan” disanalah sumber penghidupan, disanalah pundi-pundi rupiah bisa dikumpulkan dan disanalah keuntungan dicari. Manusia seakan tidak pernah selesai dalam mencari “lahan”, ada “lahan” basah, “lahan ”kering”, “lahan” subur, atau “lahan” tidak subur. Dari cerita tentang “lahan” inilah saya teringat mengenai berita yang menghiasi surat kabar lokal maupun nasional. Tidak tanggung-tanggung judul beritanya cukup membuat pembaca semakin penasaran, Dahlan VS DPR. Bagaimana tidak heboh, ini adalah lakon orang tersohor penuh citra, pemimpin jaringan media, mantan Dirut PLN yang sekarang menjabat Menteri BUMN melawan para politisi lintas partai di Senayan. Perseteruan ini dimulai ketika Dahlan melempar sebuah isu bahwa ada sejumlah anggota dewan yang suka meminta jatah ke BUMN. Apalagi sempat beredar pesan singkat yang memuat sepuluh nama inisial anggota dewan lintas partai yang suka meminta upeti ke BUMN. Kontan ini membuat sejumlah anggota dewan, apalagi yang namanya tercantum bereaksi. Tak berselang lama dari itu, manuver senayan pun dilancarkan, berbekal hasil audit investigativ BPK yang menyebut ada potensi kerugian di PLN hingga mencapai RP. 37,6 Triliun pada 2009/2010 yang pada waktu itu PLN dikomandoi oleh Dahlan sebagai senjata memukul balik “ocehan” Dahlan. Bahkan ada anggota dewan mengatakan potensi kerugian ini mengandung unsur tindak pidana. Tidak hanya itu saja, isu yang berkembang mengaitkan anak Dahlan, Azrul Ananda terlibat dalam tender pengadaan Genset proyek jaringan listrik di PLN. Terlepas dari itu semua, saya lebih melihat persoalan ini menggunakan pola pikir “lahan” yang diawal tulisan ini saya tuturkan. Kalau dulu sumber perselisihannya adalah lahan dalam arti sebenarnya, sekarang adalah “lahan” dalam pengertian yang lebih luas, lakonnya pun bukan sekedar pemilik tanah atau petani penggarap yang bedegong, objeknya adalah “lahan” dan subjeknya adalah para pejabat dan wakil rakyat. Lahan yang mempunyai konotasi keuntungan adalah lahan yang selamanya menjadi sumber perebutan, termasuk BUMN yang konon menjadi “lahan basah” para anggota dewan yang terhormat, “lahan subur” yang menjadi rebutan. Karena dalam “lahan” tersebut ada anggaran, proyek dan komisi. Bahkan ada istilah lain yang lebih menyeramkan, BUMN sapi perah DPR!. Jadi kesimpulannya adalah, ketika “lahan” itu coba diusik dan diganggu tentu akan menjadi sumber perselisihan, seperti halnya ketika pemilik lahan dan petani diganggu patok pembatasnya, diklaim lahannya atau diperebutkan sumber airnya. “Jangan usik lahan saya!”, itu kira-kira kalimat yang keluar. Sebagai Lembaga yang “berkuasa” atas anggaran (Budgeting), jelas DPR mempunyai daya tawar yang cukup kuat terhadap BUMN, pasalnya sebagai badan usaha milik Negara, BUMN tidak lepas dari kucuran dana pemerintah yang kuasa pengalokasian anggarannya ada ditangan para wakil rakyat yang terhormat, utamanya ada di Komisi IX patner kerja BUMN. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan merilis pola-pola anggota dewan yang terhormat yang digunakan untuk meminta jatah. Pertama, meminta jatah bulanan ke BUMN secara rutin. Kedua, Parpol meminta jatah atau sumbangan untuk acara-acara partai seperti Kongres. Ketiga, model bagi hasil proyek, pola ini persis terjadi dalam kasus Hambalang dan Wisma Atlet, dan terakhir, dari 141 BUMN, ada BUMN yang sengaja dibuat pailit atau merugi agar diberi subsidi oleh Negara. Skenario penyelamatan ini dijadikan dalih untuk meminta upeti. Inilah “lahan” baru yang menjadi objek perselisihan, “lahan” basah dan subur yang pada prinsipnya tidak mau diganggu dan di otak-atik orang lain, bila diganggu jelas akan marah dan bereaksi, arenanya bukan lagi sawah atau perkebunan tapi media dan ruang-ruang publik (public sphare). Bukan lagi tontonan masyarakat sekitar, tapi sudah menjadi tontotonan publik, tontonan khalayak banyak. Sebuah sindiran yang memang cukup menggelikan tapi miris untuk didengar yaitu istilah RDP (Rapat Dengar Pendapat). RDP sering dilakukan oleh anggota dewan berkaitan dengan agenda tertentu dengan patner kerja DPR. Komisi IX sering melakukan RDP dengan pimpinan dan direksi BUMN, alih-alih RDP sebagai sarana sharing, dengar-pendapat tapi ujung-ujungnya adalah Rapat Dengar Proyek (RDP). Atau istilah Komisi sebagai unit-unit kerja yang membidangi Kementerian-Kementrian tertentu, menjadi Komisi yang berkonotasi uang lelah, jatah atau upeti, seperti halnya makelar tanah meminta komisi dari penjual tanah. Sebaiknya anggota dewan yang terhormat jangan berputar-putar, bermanuver dengan hasil audit investigativ BPK untuk melawan “ocehan” menteri BUMN itu, lebih baik langsung saja kepada pokok yang dimaksud, lantang berteriak, “jangan usik lahan saya!”.

 Wallahu a’alam bishawab.
Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.