Membincang soal politik memang selalu lekat dengan istilah kepentingan. Politik sering disangkutpautkan dengan kepentingan. Namun kepentingan tidak mesti disangkutpautkan dengan politik. Dari itu, secara sederhana bisa diambil kesimpulan bahwa di dalam politik selalu terdapat unsur kepentingan, politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kepentingan. Namun demikian politik tidak sama dengan kepentingan.
Artinya,
berbicara politik sudah pasti membicarakan sebuah kepentingan. Apapun
soal politik akan selalu berujung dan berakhir pada term
kepentingan. Pertanyaannya, kepentingan seperti apa dan untuk tujuan
apa. Kepentingan untuk memperoleh dukungan, simpati publik, kegilaan
jabatan, sehingga hanya mengedepankan aspek keuntungan individual atau
kelompok? Ataukah kepentingan yang berbasis pada demi terwujudnya
masyarakat dan bangsa yang lebih baik?
Bagi
saya, kepentingan pertama jelas merupakan kepentingan yang salah
kaprah, yang demikian itu bukanlah kepentingan politik, melainkan
kepentingan yang dilandaskan pada nafsu ingin berkuasa dan mencari
untung demi diri sendiri dan kelompoknya. Sedangkan kepentingan yang
kedua barulah kepentingan politik. Lantas, apa sebenarnya kepentingan
politik yang saya maksudkan?
Setiap
upaya mesti dilandasi oleh sebuah kepentingan, begitu juga dengan
politik. Politik, dalam teori klasik Aristoteles dipahami sebagai upaya
yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Term
kebaikan bersama menjadi kata kunci dalam definisi ini. Dengan kata
lain, kepentingan yang diusung dalam berpolitik –mengacu pada pandangan
Aristoteles, haruslah mengarah pada kepentingan yang dimaksudkan demi
terwujudnya kebaikan bersama. Kepentingan ini, dalam bahasa lain disebut
sebagai kepentingan nasional.
Dalam
teorinya, untuk menjaga kelangsungan hidup suatu negara, maka negara
harus memenuhi kepentingan nasionalnya. Sehingga Negara dapat berjalan
dengan stabil dan tetap survive. Kepentingan nasional inilah
yang dapat menentukan kearah mana politik itu akan dirumuskan. Disini
saya perlu tegaskan, bahwa pada dasarnya politik memang lahir dari
sebuah kepentingan. Dirumuskan oleh dan untuk sebuah kepentingan.
Bagi
sebagian orang, selain soal kepentingan, politik tidaklah terlalu
menarik untuk dibahas. Sayangnya, kepentingan itu lebih lekat dengan
istilah politik kepentingan daripada kepentingan politik. Politik
kepentingan tentu berbeda dengan kepentingan politik. Kata kepentingan
pada istilah kepentingan politik memiliki konotasi makna yang mengarah
pada pelbagai kepentingan-kepentingan. Artinya, politik
dipahami hanya sebagai alat untuk meraih banyak kepentingan, yang
digerakkan oleh individu, kelompok, golongan, dan sebagainya. Sedangkan
kata kepentingan pada istilah kepentingan politik memiliki makna yang
mengarah pada (hanya) satu kepentingan, yang digerakkan oleh suatu
kelompok kepentingan, yakni kepentingan politik itu sendiri, yang
disebut diawal tulisan ini sebagai kebaikan bersama.
Terkait
kelompok kepentingan, partai politik adalah termasuk salah satu bagian
dari kelompok kepentingan ini, yaitu kelompok kepentingan yang
institusional, yang bergerak dibawah payung konstitusi atau
Undang-undang. Partai politik dibentuk dan dirumuskan untuk kepentingan
tidak kurang dan tidak lebih demi terwujudnya masa depan bangsa yang
bermartabat. Dengan demikian, eksistensi partai politik memegang peranan
sentral dalam menegakkan cita-cita politik bangsa.
Akan
tetapi, di Indonesia terdapat banyak partai politik, yang mengusung
banyak ideology politik, entah ideology itu sebagai landasan partai,
ataupun sebatas menjadi kedok untuk meraih simpati rakyat. Ideologi itu
diperjuangkan secara kompetitif, bahkan dikonteskan dalam sebuah
momentum. Sehingga partai mana yang paling rajin berkontes dan muncul didepan publik, partai itulah yang akan banyak mendapat simpati rakyat.
Parahnya,
menjadi fenomenanya saat ini, kebanyakan partai –untuk tidak mengatakan
semua partai, terjebak pada ranah kontes ini. Dengan pelbagai caranya
yang berbeda-beda, tidak peduli cara itu baik atau tidak, bersih atau
tidak, yang penting harus tampil di depan publik. Sehingga yang kita
lihat saat ini adalah “kontes politik” semata. Yang pada akhirnya bukan
kepentingan politik yang dicari, melainkan politik kepentingan.
Kepentingan untuk membesarkan partai, sehingga partai itu mendapat
simpati rakyat, dipilih oleh mayoritas rakyat, dan memperoleh kekuasan.
Selebihnya, lupa akan cita-cita dan kepentingan politik itu sendiri.
Yang
dipikirkan hanya bagaimana partai itu tetap kuat, mendapatkan mayoritas
dukungan rakyat dan dapat berkuasa di pemerintahan untuk
periode-periode selanjutnya. Ketika tampil di media massa hanya dalam
rangka sebatas “mencari muka,” berbicara mengenai politik untuk
kepentingannya sendiri, kelompok atau golongannya. Begitu juga dengan
partai politik yang lain, tampil berebut simpati. Saling menggunjing,
bahkan jatuh-menjatuhkan, seakan menjadi pilihan yang harus diambil.
Harapannya, partai saya yang akan dianggap paling perfect oleh rakyat.
Sayangnya
tidak, rakyat justeru menjadi muak dan menjadi antipati terhadap
politik. Saya khawatir, para politisi kita ditanah air menjadi penganut
politik Machiavellisme, yang memegang prisip politik tanpa etika dan
hukum. Bagi Machiavelli, politik hanya berbicara soal bagaimana
memperebutkan dan mempertahankan kekuasaaan. Jika
kekuasaan menjadi kata kuci dari politik kita, maka tidak heran jika
politik sarat dengan gonjang-ganjing. Karena banyak kepentingan yang
bertemu, kepentingan untuk meraih kekuasaan dan semacamnya. Ini tentu
tidak sesuai dengan tujuan politik kita, yang menurut pendapat saya
lebih dekat dengan pemahaman Aristoteles, yakni politik untuk “kebaikan”
bersama.
Mungkin
benar yang dikatakan Adam Smith, “…kita tidak hidup dari belas kasih
penjual roti, melainkan oleh karena kecintaan penjual roti tersebut
kepada dirinya sendiri…” Partai politik yang ada saat ini, apa yang kita
rasakan saat ini di negara ini yang dibuat atas kontribusi partai
politik, baik buruknya adalah efek dari bukan karena parpol itu cinta
terhadap kita sebagai rakyat, melainkan karena mereka cinta terhadap
kepentingannya sendiri dan partainya. Smith percaya bahwa manusia akan
selalu dimotivasi oleh kepentingan individualnya.
Pada
dasarnya, manusia mamang msulit memisahkan diri dari kepentingannya.
Ketika ia berkelompok ia juga susah menjauhkan diri dari kepentingan
politik kelompoknya. Masuk ke dalam partai politik, ia tidak bisa
dilepaspisahkan dari kepentingan politiknya. Sehingga berbicara politik
sudah pasti berbicara kepentingan. Tinggal bagaimana kepentingan disini
dikonstruksi kearah yang lebih baik yaitu kepentingan politik, bukan
politik kepentingan.
0 komentar:
Posting Komentar